“Mengapa orang harus beragama?”
“Mengapa?”
“Mengapa balik bertanya?”
“Pertanyaanmu lucu” seorang laki-laki
perawakan sedang, rambut cepak, kulit putih, duduk di bangku semen di bawah pohon.
Lawan bicaranya, yang punya ciri fisik hampit
sama, hanya sedikit lebih kurus, berdiri memunggungi. Tangan kirinya memegang
ranting kering, sementara tangan kananya mematah-matahkan ranting sedikit demi
sedikit.
“Semua agama mengajarkan pada kebaikan. Lalu
untuk apa memlilih agama? Meyakini hal-hal yang aneh. Memaksakan diri melakukan
ritual peribadatan yang melelahkan, bahkan sering kali tidak efisien”
“Apakah kau pikir orang beragama terpaksa
melakukan itu semua?”
“Kupikir iya”
“Termasuk aku?”
“Mengapa kau malah bertanya kepadaku?”
Si sedang tersenyum, lalu melanjutkan
perkataanya pada si kurus yang sudah beralih posisi. Duduk di bangku semen yang
sedikit rusak. “ Apa selama ini kamu tidak beragama?”
“Dulu pernah. Tapi setelah kurasa tak ada
gunanya lagi, aku berniat tidak memeluk agama manapun “
“Apa kau pikir ada gunanya. Lihatlah mereka
yang mengaku beragama tapi hobi berbuat onar di muka bumi ini. Bagiku, yang
penting menjadi orang baik”
Si Sedang menebarkan senyum” Baik. Lalu apa
ukuranya?”
“Menolong orang, itu tbaik. Tidak usil
terhadap urusan orang lain, itu baik. Mudah saja. Manusia punya akal. Bisa
berpikir”
“Menolong orang? Siapapun orang itu?”
“Tentu saja”
“Termasuk jika mereka adalah para pencuri,
koruptor, jambret, dan sebagainya?”
“Ya” Si Kurus membusungkan dada
“Bila mereka berbuat salah lalu memintamu
untuk menyembunyikan kejahatan mereka, apakah kau juga akan mengabulkanya?”
Si Kurus menghembuskan nafas”Apa inti
pembicaraanmu yang berputar putar dari tadi?”
“Manusia membutuhkan standar nilai untuk
mengambil sikap dalam kehidupan. Dan itu adalah agama. Satu sistem aturan yang
lengkap buatan tuhan “
“Tuhan katamu? Hah itu Cuma dalil orang yang
,alas berpikir untuk mencari solusi dalam kehidupanya. Apa gunaya tuhan kasih
kita otak kalau apa-apa kita mesti mencari tahu apa mmau tuhan?”
“Karena itulah fungsi otak menurut-Nya”
“Apakah orang menurut saja perlu otak?”
“Tentu”
“Tak perlu banyak mendoktrinku. Aku sudah
muak! Berikan bukti kalau kau mampu.” Si Kurus berkacak pinggang
“Allah memerintahkan manusia menutup aurat.
Lalu muncul tradisi berpakaian, muncul ahli jahit, lalu muncul pula ahli yang
menciptakan mesin untuk produksi kain secara massal”
“Cuma itu?” Si Kurus tersenyum mengejek
“Allah memerintahkan haji. Lalu manusia
berpikir tentang bagaimana mencapai mekah secara lebih cepat, bagaimana membuat
kontruksi bagunan yang lebih aman bagi jamaah, kemudian...”
“Stop, dari siapa yang sebenarnya sedang kau
ceritakan dari tadi?”
“Siapapun yang mengimani Allah”
“Kau pikir,
orang yang menemukan mesin-mesin sarana transportasi canggih, sarana
informasi midern adalah orang-orang yang beriman itu? Kau pikir, agama punya
peran di balik semua kecanggihan teknologi yang kita nikmati sekarang ini?
Hua...ha..haahaa kamu mimpi! Kau tahu, Einstein itu termasuk seorang Atheis!”
Si Sedang berhenti sejenak, menunggu sampai Si
Kurus menyelesaikan gelak tawanya. “Kau hanya memintaku memberi bukti bahwa
sebuah ketaatan pun membutuhkan akal. Ilmuwan muslim, tak pernahkah kamu
mendengar tentang Avucina, Averoes, Ibnu khaldun, Ibnu sina..”
“Sudahlah. Bosan aku ngomong sma kamu.
Peluklah mimpi dan fantasi masa lalu itu! Aku mau pulang. Banyak kerjaan!”
“Hati-hati di jalan. Semoga Allah selekasnya
menujukimu sobat.”
Si Kurus menuju mobilnya sambil
ternahak-bahak” Ha ha ha... semoga kamu pun masih tak bosan dengan tuhanmu”
...
Langit sedang tergambar senja yang menjelang
malam.
“Kita mulai sekarang?”
“Nanti saja sesudah sholat isya.”
Si Kurus mendengus” Terserah kau sajalah. Aku
ini orang demokratis, tak mengusik orang yang masih mau percaya aturan-aturan
ruwet.”
Lima belas menit kemudian. Si Sedang telah
duduk manis di depan teman diskusinya.
“kamu masih percayah sama perlunyya beragama
sampai detik ini?”
“Kamu masih saja tak percaya?”
“Kau bisa buktikan kalau surga dan neraka ada?
Itu kan yang bikin orang orang mau beragama.”
“Sebaliknya, apakah bisa di buktikan kalau dua
itu tak ada?”
“Hhhh...” Si Kurus menggebrak meja. “ Kerjamu
selalu saja bertanya balik. Kamu tak punya cara lain yang lebih cerdas?”
Si Sedang meringgis sembari meniup-niup
tanganya yang terkena muncratan teh panas cangkirnya yang bergetar keras. “Aku
tidak bertanya balik, tapi begitulah jawabanku”
“Hhhh...jawaban!”SI Kurus mendengus.
“Tiap agama mengajarkan kebaikan yang sama.
Yang pastiberbeda adalah bagaimana mengimani keberadan-Nya”
“Apa menurutmu itu poenting?”
“Jika hidup adalah bagunan. Maka itu adalah
pondasinya.”
“Klise. Tak punya jawaban yang lebih cerdas?”
“Minum dulu tehmu, nanti keburu dingin”Si
Sedang menyeruput tehnya pelan pelan. Membuang pandangan ke cahaya bulan yang
tampak remang-remang di balik warna hitamnya melam. Sementara Si kurus hanya
memandangi gerak Si Sedang tanpa berkedip.
“Jika atas nama agama orang jadi suka berselisih, berebut pengikut bahkan
lalu berperang, apakah menurutmu agama masih penting?”
“Hmm...apakah menurutmu jika semua orang tak
beragama lantas tak pernah berselisih, berebut pengikut dan tak suka perang?”
“Kamu...lagi lagi!” Si kurus seketika
berdiri!”
“Tenang sobat. Duduk dulu, lantas kau minum tehmu. Jadi diskusi kita akan lebih menyenangkan nantinya”
“Tenang sobat. Duduk dulu, lantas kau minum tehmu. Jadi diskusi kita akan lebih menyenangkan nantinya”
“Ku ikuti maumu, tapi kamu harus bisa kasih
jawaban cerdas. Bukan balik tanya dan tanya terus. Berputar putar tak tentu
arah. Kau pikir aku tak punya pekerjaan lain selain meladeni omanganmu”
“Sudah, duduk dulu. Nikmati apa yang bisa kau hidangkan malam ini kepadamu.”
Si Kurus menurut. Meminum teh dengan tergesa,
memasukan potongan-potongan biskuit dengan cepat ke mulut, lalu minum lagi.
“Sudah kuturuti apa maumu. Sekarang bicaralah
yang lebih bermutu.”
“Beragama itu kebutuhan manusia.”
“Kenapa?”
“Karena manusia hidup butuh aturan”
“Bukankah manusia punya otak?”
“ Ya, tapi
kapasitas otak manusia berbeda satu sama lain. Di samping itu,
pengalaman hidup berbeda, menjadikan pola pikir berbeda. Standar orang akan kebenaran
dan kebaikan pun akhirnya akan berbeda-beda. Dan jangan lupa, bukankah
bersamaan dengan akal, manusia juga punya nafsu? Maka tuhan buat aturan sebagai
panduan kehidupan.”
“Bosan aku. Kau tak punya kata lain selain
doktrin itu?”
“Beragama itu perlu. Dan agama yang benar
hanyalah satu” SI Sedang bicara tegas
“Pasti agamu sendirikan? Dari mana kamu tahu?”
“Karena hatiku menerima, otakku pun menerima,
apa lagi?”
Melihat SI Kurus terdiam, Si Sedang
melanjutkan kata katanya. “Semua agama mengajarkan kebaikan. Hal yang pasti
saling berbeda satu sma lain adalah persoalan aqidah, bagaimana cara kita
mengimani-Nya”
Si Kurus menatap tajam lawan bicaranya.”Kenapa
kebenaran itu hanya satu?”
“Karena tuhan pun Cuma ada satu”
“Kalau semua orang yang beragama berkata
begitu maka perang di dunia ini akan terus terjadi. Kamu tahu itu!” Si Kurus
lagi-lagi mendobrak meja
“Itu resiko hidup, jika pilihan dan keyakinan
kita diusik, maka..”
“Jika agama tak ada, niscaya dunia ini akan
tentram. Damai. Tak ada pertumpahan darah,” potong Si Kurus tampak tak sabar.
“Kau yakin?”
“Aku tak pernah bicara tanpa dasar keyakinan!”
“Aku tak pernah bicara tanpa dasar keyakinan!”
“Tak pernahkah kau lihat dua orang bersaudara
yang saling membunuh hanya karena berebut warisan, dua orang yang berebut kuasa
lantas tega saling memfitnah. Apa menurutmu itu juga salah agama?”
Si Kurus garuk garuk kepala. Terdiam begitu
lama.
Jawaban yang akhirnya keluar terdengar berat”
itukan Cuma pertikaian kecil. Sepele. Sesuatu yang tak akan punya kekuatan
memicu perang besar”
“Jadi
menurutmu Hitler membantai Yahudi karena alasan agama? Obama memborbardir irak
karena alasan agama?
Si Kurus mengangkat bahu” Aku tak yakin, Bukan
itu yang aku maksud”
“Israel Palestina? kenapa harus jauh jauh-jauh. Kau tak ingan kasus di negieri kita ini? Suara Si Kurus makin melemah. Sorot matanya tak lagi tajam
“Israel Palestina? kenapa harus jauh jauh-jauh. Kau tak ingan kasus di negieri kita ini? Suara Si Kurus makin melemah. Sorot matanya tak lagi tajam
“lalu apa yang kau pikirkan sekarang, sobat?”
“Manusia memang punya naluri untuk berkuasa dan bertikai. Agama menjadi pemicu slah satunya.”
“Manusia memang punya naluri untuk berkuasa dan bertikai. Agama menjadi pemicu slah satunya.”
“Emmm...begitu ya” Si Sedang
mengangguk-angguk.
“Jika agama tak ada, aku yakin dunia akan lebih
tenang. Lebih tentram”
“Bagaimana menurutmu jika ada orang yang
mengaku hidupnya lebih tenang dan tentram setelah dia lebih khusyuk beragama?”
“Ah, itu mah Cuma sugesti. Itu kan Cuma karena
hidupnya sudah susah di dunia, jadi dia menghayal akan keberadaan surga?
“termasuk jika dia seorang yang punya banyak
kuasa dan harta?”
“Apakah ada?” Si Kurus terlihat lipatan di keningnya.
“Banyak. Banyak sekali. Jika kau mau,
kapan-kapan akan kutunjukkam padamu.”
“Tak perlu. Aku tak tertarik.”
Si Sedang melirik jam tanganya. “Sboat, gimana
kalau kita akhiri saja dulu perbincangan kita malam ini?”
“Terserah kau. Yang jelas, sampai kapan pun
aku tak akan beragama. Tak akan! Kalau aku masih mendegarkanmu, itu karena kamu
adalah satu-satunya teman yang masih mendengarkan aku. Ingat hal itu!”
“Tak mau beragamapun terserah padamu, Teman.
Toh Tuhan tak butuh kita. Kitalah yang butuh Dia, butuh aturan-Nya.”
“Tapi aku tak merasa butuh, toh aku masih
tetap bisa berbuat baik tanpa itu.”
“Begitu pun tak apa. Jika nanti merasa butuh
Dia, jangan ragu sebut nama-Nya. Datanglah pada-Nya. Kapanpun kamu datang, Dia
akan menerimamu.”
Si Kurus mengangkat bahu. “Hhhh...kamu terlalu
yakin. Aku kasihan padamu.”
Si Sedang mengangsurkan helm.”Ini sudah larut
malam. Ibumu pasti sudah menunggu. Pulanglah sekarang, Insya Allah masih ada
waktu bagi kita untuk melanjutkan diskusi ini.”
“Kita lihat saja nanti, aku yang akan
mengikutimu untuk beragama, atau kau yang justru akan mengikutiku untuk tidak
beragama,”
“Sudahlah, teman. Kita teruskan lain kali
saja. Hati-hati di jalan ya.”
Si Kurus pun segera menghidupkan motornya.
Satu menit kemudian terdengar derung mesin motor yang memekakkan telinga.
Si Sedang bergegas masuk rumah begitu motor
temanya hilang dari pandangan. Dilihatnya dengan senyum kata-kata dari
pembimbing agamanya yang terbingkai dalam kenangan indah di dalam memori otak
yang tersimpan tenang tiga tahun lalu, saat kedua orang tuanya tiada dan dia
mulai hidup sebatang kara. Saat terpuruk dan tak berdaya berdaya, limbung tak tentu arah, saat dia
merasa butuh terhadap aturan dan perlindungan dari Sang Penguasa Jagat Raya.
Bayangan Si Kurus dengan sorot mata yang penuh
luka sejak kehilangan Kakak dan Ayahnya saat kerusuhan di Maluku, sorot mata
yang kecewa pada kehidupan orang yang mengaku tokoh agama dan menipu
keluarganya habis-habisan hingga jatuh melarat kembali berkebelatan dalam benat
Si Sedang. Di pandanginya sekali lagi tulisan dalam pigura bermotif ukir jepara
itu.
“Jadilah dirimu atas nama-Nya. Pada prosesmu
aku percaya atas segala apa yang engkau hendaki”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar