Senin, 28 November 2011

Karena Tuhan Tak Butuh Kita




“Mengapa orang harus beragama?”
“Mengapa?”
“Mengapa balik bertanya?”
“Pertanyaanmu lucu” seorang laki-laki perawakan sedang, rambut cepak, kulit putih, duduk di bangku  semen di bawah pohon.
Lawan bicaranya, yang punya ciri fisik hampit sama, hanya sedikit lebih kurus, berdiri memunggungi. Tangan kirinya memegang ranting kering, sementara tangan kananya mematah-matahkan ranting sedikit demi sedikit.
“Semua agama mengajarkan pada kebaikan. Lalu untuk apa memlilih agama? Meyakini hal-hal yang aneh. Memaksakan diri melakukan ritual peribadatan yang melelahkan, bahkan sering kali tidak efisien”
“Apakah kau pikir orang beragama terpaksa melakukan itu semua?”
“Kupikir iya”
“Termasuk aku?”
“Mengapa kau malah bertanya kepadaku?”
Si sedang tersenyum, lalu melanjutkan perkataanya pada si kurus yang sudah beralih posisi. Duduk di bangku semen yang sedikit rusak. “ Apa selama ini kamu tidak beragama?”
“Dulu pernah. Tapi setelah kurasa tak ada gunanya lagi, aku berniat tidak memeluk agama manapun “
“Tidak ada gunanya”
“Apa kau pikir ada gunanya. Lihatlah mereka yang mengaku beragama tapi hobi berbuat onar di muka bumi ini. Bagiku, yang penting menjadi orang baik”
Si Sedang menebarkan senyum” Baik. Lalu apa ukuranya?”
“Menolong orang, itu tbaik. Tidak usil terhadap urusan orang lain, itu baik. Mudah saja. Manusia punya akal. Bisa berpikir”
“Menolong orang? Siapapun orang itu?”
“Tentu saja”
“Termasuk jika mereka adalah para pencuri, koruptor, jambret, dan sebagainya?”
“Ya” Si Kurus membusungkan dada
“Bila mereka berbuat salah lalu memintamu untuk menyembunyikan kejahatan mereka, apakah kau juga akan mengabulkanya?”
Si Kurus menghembuskan nafas”Apa inti pembicaraanmu yang berputar putar dari tadi?”
“Manusia membutuhkan standar nilai untuk mengambil sikap dalam kehidupan. Dan itu adalah agama. Satu sistem aturan yang lengkap buatan tuhan “
“Tuhan katamu? Hah itu Cuma dalil orang yang ,alas berpikir untuk mencari solusi dalam kehidupanya. Apa gunaya tuhan kasih kita otak kalau apa-apa kita mesti mencari tahu apa mmau tuhan?”
“Karena itulah fungsi otak menurut-Nya”
“Apakah orang menurut saja perlu otak?”
“Tentu”
“Tak perlu banyak mendoktrinku. Aku sudah muak! Berikan bukti kalau kau mampu.” Si Kurus berkacak pinggang
“Allah memerintahkan manusia menutup aurat. Lalu muncul tradisi berpakaian, muncul ahli jahit, lalu muncul pula ahli yang menciptakan mesin untuk produksi kain secara massal”
“Cuma itu?” Si Kurus tersenyum mengejek
“Allah memerintahkan haji. Lalu manusia berpikir tentang bagaimana mencapai mekah secara lebih cepat, bagaimana membuat kontruksi bagunan yang lebih aman bagi jamaah, kemudian...”
“Stop, dari siapa yang sebenarnya sedang kau ceritakan dari tadi?”
“Siapapun yang mengimani Allah”
“Kau pikir,  orang yang menemukan mesin-mesin sarana transportasi canggih, sarana informasi midern adalah orang-orang yang beriman itu? Kau pikir, agama punya peran di balik semua kecanggihan teknologi yang kita nikmati sekarang ini? Hua...ha..haahaa kamu mimpi! Kau tahu, Einstein itu termasuk seorang Atheis!”
Si Sedang berhenti sejenak, menunggu sampai Si Kurus menyelesaikan gelak tawanya. “Kau hanya memintaku memberi bukti bahwa sebuah ketaatan pun membutuhkan akal. Ilmuwan muslim, tak pernahkah kamu mendengar tentang Avucina, Averoes, Ibnu khaldun, Ibnu sina..”
“Sudahlah. Bosan aku ngomong sma kamu. Peluklah mimpi dan fantasi masa lalu itu! Aku mau pulang. Banyak kerjaan!”
“Hati-hati di jalan. Semoga Allah selekasnya menujukimu sobat.”
Si Kurus menuju mobilnya sambil ternahak-bahak” Ha ha ha... semoga kamu pun masih tak bosan dengan tuhanmu”
...
Langit sedang tergambar senja yang menjelang malam.
“Kita mulai sekarang?”
“Nanti saja sesudah sholat isya.”
Si Kurus mendengus” Terserah kau sajalah. Aku ini orang demokratis, tak mengusik orang yang masih mau percaya aturan-aturan ruwet.”
Lima belas menit kemudian. Si Sedang telah duduk manis di depan teman diskusinya.
“kamu masih percayah sama perlunyya beragama sampai detik ini?”
“Kamu masih saja tak percaya?”
“Kau bisa buktikan kalau surga dan neraka ada? Itu kan yang bikin orang orang mau beragama.”
“Sebaliknya, apakah bisa di buktikan kalau dua itu tak ada?”
“Hhhh...” Si Kurus menggebrak meja. “ Kerjamu selalu saja bertanya balik. Kamu tak punya cara lain yang lebih cerdas?”
Si Sedang meringgis sembari meniup-niup tanganya yang terkena muncratan teh panas cangkirnya yang bergetar keras. “Aku tidak bertanya balik, tapi begitulah jawabanku”
“Hhhh...jawaban!”SI Kurus mendengus.
“Tiap agama mengajarkan kebaikan yang sama. Yang pastiberbeda adalah bagaimana mengimani keberadan-Nya”
“Apa menurutmu itu poenting?”
“Jika hidup adalah bagunan. Maka itu adalah pondasinya.”
“Klise. Tak punya jawaban yang lebih cerdas?”
“Minum dulu tehmu, nanti keburu dingin”Si Sedang menyeruput tehnya pelan pelan. Membuang pandangan ke cahaya bulan yang tampak remang-remang di balik warna hitamnya melam. Sementara Si kurus hanya memandangi gerak Si Sedang tanpa berkedip.
“Jika atas nama agama orang  jadi suka berselisih, berebut pengikut bahkan lalu berperang,  apakah menurutmu  agama masih penting?”
“Hmm...apakah menurutmu jika semua orang tak beragama lantas tak pernah berselisih, berebut pengikut dan tak suka perang?”
“Kamu...lagi lagi!” Si kurus seketika berdiri!”
“Tenang sobat. Duduk dulu, lantas kau minum tehmu. Jadi diskusi kita akan lebih menyenangkan nantinya”
“Ku ikuti maumu, tapi kamu harus bisa kasih jawaban cerdas. Bukan balik tanya dan tanya terus. Berputar putar tak tentu arah. Kau pikir aku tak punya pekerjaan lain selain meladeni omanganmu”
“Sudah, duduk dulu. Nikmati apa yang  bisa kau hidangkan malam ini kepadamu.”
Si Kurus menurut. Meminum teh dengan tergesa, memasukan potongan-potongan biskuit dengan cepat ke mulut, lalu minum lagi.
“Sudah kuturuti apa maumu. Sekarang bicaralah yang lebih bermutu.”
“Beragama itu kebutuhan manusia.”
“Kenapa?”
“Karena manusia hidup butuh aturan”
“Bukankah manusia punya otak?”
“ Ya, tapi  kapasitas otak manusia berbeda satu sama lain. Di samping itu, pengalaman hidup berbeda, menjadikan pola pikir berbeda. Standar orang akan kebenaran dan kebaikan pun akhirnya akan berbeda-beda. Dan jangan lupa, bukankah bersamaan dengan akal, manusia juga punya nafsu? Maka tuhan buat aturan sebagai panduan kehidupan.”
“Bosan aku. Kau tak punya kata lain selain doktrin itu?”
“Beragama itu perlu. Dan agama yang benar hanyalah satu” SI Sedang bicara tegas
“Pasti agamu sendirikan? Dari mana kamu tahu?”
“Karena hatiku menerima, otakku pun menerima, apa lagi?”
Melihat SI Kurus terdiam, Si Sedang melanjutkan kata katanya. “Semua agama mengajarkan kebaikan. Hal yang pasti saling berbeda satu sma lain adalah persoalan aqidah, bagaimana cara kita mengimani-Nya”
Si Kurus menatap tajam lawan bicaranya.”Kenapa kebenaran itu hanya satu?”
“Karena tuhan pun Cuma ada satu”
“Kalau semua orang yang beragama berkata begitu maka perang di dunia ini akan terus terjadi. Kamu tahu itu!” Si Kurus lagi-lagi mendobrak meja
“Itu resiko hidup, jika pilihan dan keyakinan kita diusik, maka..”
“Jika agama tak ada, niscaya dunia ini akan tentram. Damai. Tak ada pertumpahan darah,” potong Si Kurus  tampak tak sabar.
“Kau yakin?”
“Aku tak pernah bicara tanpa dasar keyakinan!”
“Tak pernahkah kau lihat dua orang bersaudara yang saling membunuh hanya karena berebut warisan, dua orang yang berebut kuasa lantas tega saling memfitnah. Apa menurutmu itu juga salah agama?”
Si Kurus garuk garuk kepala. Terdiam begitu lama.
Jawaban yang akhirnya keluar terdengar berat” itukan Cuma pertikaian kecil. Sepele. Sesuatu yang tak akan punya kekuatan memicu perang besar”
 “Jadi menurutmu Hitler membantai Yahudi karena alasan agama? Obama memborbardir irak karena alasan agama?
Si Kurus mengangkat bahu” Aku tak yakin, Bukan itu yang aku maksud”
“Israel Palestina? kenapa harus jauh jauh-jauh. Kau tak ingan kasus di negieri kita ini? Suara Si Kurus makin melemah. Sorot matanya tak lagi tajam
“lalu apa yang kau pikirkan sekarang, sobat?”
“Manusia memang punya naluri untuk berkuasa dan bertikai. Agama menjadi pemicu slah satunya.”
“Emmm...begitu ya” Si Sedang mengangguk-angguk.
“Jika agama tak ada, aku yakin dunia akan lebih tenang. Lebih tentram”
“Bagaimana menurutmu jika ada orang yang mengaku hidupnya lebih tenang dan tentram setelah dia lebih khusyuk beragama?”
“Ah, itu mah Cuma sugesti. Itu kan Cuma karena hidupnya sudah susah di dunia, jadi dia menghayal akan keberadaan surga?
“termasuk jika dia seorang yang punya banyak kuasa dan harta?”
“Apakah ada?” Si Kurus  terlihat lipatan di keningnya.
“Banyak. Banyak sekali. Jika kau mau, kapan-kapan akan kutunjukkam padamu.”
“Tak perlu. Aku tak tertarik.”
Si Sedang melirik jam tanganya. “Sboat, gimana kalau kita akhiri saja dulu perbincangan kita malam ini?”
“Terserah kau. Yang jelas, sampai kapan pun aku tak akan beragama. Tak akan! Kalau aku masih mendegarkanmu, itu karena kamu adalah satu-satunya teman yang masih mendengarkan aku. Ingat hal itu!”
“Tak mau beragamapun terserah padamu, Teman. Toh Tuhan tak butuh kita. Kitalah yang butuh Dia, butuh aturan-Nya.”
“Tapi aku tak merasa butuh, toh aku masih tetap bisa berbuat baik tanpa itu.”
“Begitu pun tak apa. Jika nanti merasa butuh Dia, jangan ragu sebut nama-Nya. Datanglah pada-Nya. Kapanpun kamu datang, Dia akan menerimamu.”
Si Kurus mengangkat bahu. “Hhhh...kamu terlalu yakin. Aku kasihan padamu.”
Si Sedang mengangsurkan helm.”Ini sudah larut malam. Ibumu pasti sudah menunggu. Pulanglah sekarang, Insya Allah masih ada waktu bagi kita untuk melanjutkan diskusi ini.”
“Kita lihat saja nanti, aku yang akan mengikutimu untuk beragama, atau kau yang justru akan mengikutiku untuk tidak beragama,”
“Sudahlah, teman. Kita teruskan lain kali saja. Hati-hati di jalan ya.”
Si Kurus pun segera menghidupkan motornya. Satu menit kemudian terdengar derung mesin motor yang memekakkan telinga.
Si Sedang bergegas masuk rumah begitu motor temanya hilang dari pandangan. Dilihatnya dengan senyum kata-kata dari pembimbing agamanya yang terbingkai dalam kenangan indah di dalam memori otak yang tersimpan tenang tiga tahun lalu, saat kedua orang tuanya tiada dan dia mulai hidup sebatang kara. Saat terpuruk dan tak berdaya  berdaya, limbung tak tentu arah, saat dia merasa butuh terhadap aturan dan perlindungan dari Sang Penguasa Jagat Raya.
Bayangan Si Kurus dengan sorot mata yang penuh luka sejak kehilangan Kakak dan Ayahnya saat kerusuhan di Maluku, sorot mata yang kecewa pada kehidupan orang yang mengaku tokoh agama dan menipu keluarganya habis-habisan hingga jatuh melarat kembali berkebelatan dalam benat Si Sedang. Di pandanginya sekali lagi tulisan dalam pigura bermotif ukir jepara itu.
“Jadilah dirimu atas nama-Nya. Pada prosesmu aku percaya atas segala apa yang engkau hendaki”

                                                                                                                                


Tidak ada komentar:

Posting Komentar