Dulu pacaran dianggap tabu oleh masyarakat. Pasangan remaja lawan jenis yang kedapatan berdua-duaan dianggap aib. Masyarakat masa kini sudah tak lagi peduli dengan urusan pergaulan lawan jenis.
Masa remaja adalah masa paling indah dalam perjalanan hidup anak manusia. Banyak hal terjadi dalam masa transisi diri menuju kedewasaan ini. Simaklah pengakuan Dewi (16) yang menganggap pacaran sebagai salah satu ciri untuk menjadi orang dewasa. “Ya, identitas remaja adalah pacaran,” ungkap pelajar sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). “Kalo engga pacaran, hidup engga indah,” imbuhnya.
Bukan hanya Dewi, tapi ribuan remaja telah mempercayai pacaran sebagai tradisi. Remaja tidak pacaran
, berarti kuper (kurang pergaulan). Begitu anggapan mereka.
Biasanya, awal masa pacaran terjadi ketika remaja masuk dalam tahap pubertas. Atau ketika remaja mengalami perkembangan fisik diawali terjadinya menstruasi bagi anak perempuan atau mimpi basah pada anak laki-laki. Tapi tak sedikit anak-anak “bau kencur” yang belum puber pun ikut-ikutan tradisi pacaran.
Secara bahasa, kata “pacaran” sejauh ini belum terdefinisikan secara baku. Karena motif dan bentuk pacaran yang marak di masyarakat bermacam-macam.
Zarina miris melihat ironi pacaran remaja Indonesia masa kini. Bangsa yang dulu dikenal dengan nuansa ketimurannya, kata Zarina, kini telah berputar haluan ke arah budaya Barat yang didominasi hal-hal kurang relevan dengan budaya asli bangsa ini. “Pacaran pada remaja saat ini bukan sebatas tren, tapi budaya,” ungkap Zarina kepada Majalah Qalam.
Banyak motif seorang remaja berpacaran. Menurut Zarina, umumnya ada dua faktor yang banyak mendorong mereka berpacaran, yaitu internal dan ekstrenal. Faktor internal berasal dari dorongan diri remaja itu sendiri, dan faktor eksternal dipengaruhi oleh teman-temannya. Faktor terakhir paling banyak mempengaruhi remaja untuk melakukan pacaran.
Magister psikologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini menilai, secara psikologis, tren pacaran remaja masa kini sudah menjurus ke arah budaya permisif yang sangat berbahaya. Pasangan yang berpacaran bukan hanya ingin “mengenal” kepribadian pasangannya, tapi harus mengenal “luar-dalam” fisik masing-masing. Ibarat membeli sepatu, tak hanya bagian luar yang harus dirasakan, bagian dalamnya juga harus “dicoba”.
Apa penyebabnya Menurut Zarina faktor keterbukaan media yang tidak disikapi bijaksana, internalisasi budaya luar, ditambah kian lemahnya kontrol masyarakat membuat tren negatif ini kian tak terbendung.
Zarina mencontohkan, zaman dulu pacaran dianggap tabu oleh masyarakat. Pasangan remaja lawan jenis yang kedapatan berdua-duaan dianggap aib oleh masyarakat. Beda dengan masyarakat pada masa kini yang sudah tak lagi peduli dengan apapun yang terjadi dalam pergaulan lawan jenis.
Agama dan Budaya
Bablasnya sikap negatif perilaku pacaran remaja masa kini, menghasilkan banyak kasus hamil di luar nikah, aborsi, penyebaran penyakit kelamin, dan sebagainya. Berdasarkan data yang dihimpun Qalam, lebih dari 2,5 juta kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) terjadi setiap tahunnya di Indonesia, dan 20% dari jumlah menjerat remaja.
Menurut Zarina, dari sekian banyak kasus seperti ini, pihak yang paling dirugikan adalah remaja perempuan yang memiliki pola pikir cenderung pendek. Remaja perempuan jarang berpikir untuk jangka panjang atau masa depan (futuristik). Ketika melakukan sesuatu, dampak dan konsekuensi yang harus ditanggung di kemudian hari pun alpa untuk dipikirkan.
Untuk mengatasainya, imbuh Zarina, ada beberapa catatan solusi yang patut dilakukan: Pertama, memperkuat pendidikan agama yang bersifat pengenalan nilai-nilai. Bukan hanya materi, tapi penjelasan nilai-nilai agama dan membiasakannya dalam kehidupan remaja. Di samping itu, bimbingan dan arahan dari orang terdekat kaum remaja juga sangat diperlukan.
Kedua, pendidikan budaya. Harus kembali diwawaskan bahwa bangsa Indonesia berbudaya kental dengan ketimuran, dan bertolak belakang dengan budaya Barat. Hal ini sudah saatnya kembali fokus diajarkan kepada kaum remaja, karena saat ini generasi penerus ini cenderung sudah semakin tidak mengenal jati diri budaya meraka sendiri karena gerusan modernitas.
Ketiga, memberi penyuluhan atau pendidikan tentang dunia seksual, tapi bukan menjelaskan tentang cara dan pola hubungan seksual yang aman. Para remaja harus lebih diberi penjelasan dampak negatif dari hubungan seksual.
Menurut Alfikalia M.si, dosen ilmu Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, perasaan suka, cinta, dan kasih yang biasanya mengawali sebuah hubungan atau pacaran, merupakan sifat alamiah yang kerap muncul pada diri manusia, termasuk remaja. Karena semua orang adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain, termasuk dengan lawan jenis, dalam hidupnya.
Para remaja membutuhkan perhatian lebih dari orang lain, dan sedang melalui masa pencarian sesuatu yang baru untuk dirinya, termasuk dari lawan jenis. Yang perlu dilakukan terhadap remaja adalah mengarahkan interaksi yang terjadi antarremaja sesuai koridor agama.
Interaksi antarremaja akan berdampak positif jika bisa dijadikan sebagai ajangfastabiqul-khairât (berlomba-lomba dalam kebaikan). Seperti untuk meraih hasil positif dalam belajar. “Hubungan antarremaja tak boleh keluar dari ruang lingkup syariah dan budaya bangsa ini,” pungkasnya.
Akibat Bablas Pacaran
Ketika pasangan remaja yang berpacaran dan bablas melakukan hubungan seks pra nikah lalu menyebabkan kehamilan, pasti timbul rasa malu dan takut aib itu diketahui orang. Fenomena MBA (Married By Accident) atau nikah setelah hamil banyak terjadi, yang umumnya berupa pernikahan kilat agar janin yang dikandung mempunyai ayah. Andai buntu, langkah aborsi pun dipilih.
Menurut penelitian Population Council, angka kasus pengguguran kandungan (aborsi) di Indonesia pada 1989 diperkirakan antara 750.000 dan 1.000.000. Berarti terjadi sekitar 18 aborsi per 100 kehamilan. Tahun 2000 (Kompas, 3/3) terungkap perkiraan terjadi sekitar 2,3 juta aborsi di Indonesia. Peningkatan tajam dari data tahun 1989, disebabkan olah keian meningkat pola pergaulan bebas.
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia juga semakin meningkat. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) mendapati AKI di Indonesia mencapai 390 per 100.000 kelahiran pada tahun 2000, angka tertinggi di Asia Tenggara. Penyebabnya, kian meningkatnya kasus aborsi dilakukan remaja.
Khalwat yang Dilarang
Islam selalu memberikan perhatian yang besar terhadap setiap perkara, termasuk dalam hal pacaran. Walau dalam al-Qur’an tidak secara eksplisit disebutkan dalil kongkrit yang menyebut kata “pacaran” dan melarangnya, tapi aktivitas pacaran yang marak saat ini, seperti ngobrol dua orang lawan jenis tanpa tujuan jelas, nonton berduaan, bahkan melakukan interaksi fisik dengan lawan jenis, telah menjurus pada pelanggaran syariat berkategori zina.
Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesunggunhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu yang jalan buruk.” (Qs. al-Isrâ` [17]: 32).
Rasulullah SAW menandaskan, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka tak boleh baginya berkhalawat (berdua-duaan) dengan wanita yang bukan mahramnya. Karena sesungguhnya yang ketiga di antara mereka adalah setan.” (HR. Ahmad)
Akibat Seks Bebas
Masalah hubungan seksual di kalangan remaja merupakan masalah global. Hampir di seluruh dunia terjadi kecenderungan serupa. Di Amerika Serikat, setiap tahunnya dilaporkan 500.000 remaja hamil, dan 70% di antaranya belum menikah.
Bagaimana dengan Indonesia yang memiliki anak remaja berusia 10-24 tahun mencapai 65 juta orang atau 30% dari total penduduknya
- Sekitar 15-20 persen remaja usia sekolah sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah.
- 15 juta remaja perempuan usia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya.
- Hingga Juni 2006 tercatat 6332 kasus AIDS dan 4527 kasus HIV positif di Indonesia, dengan 78,8% kasus-kasus berasal dari kalangan usia 15-29 tahun
- Setiap tahun terjadi sekitar 2,3 juta kasus aborsi di Indonesia, 20% di antaranya dilakukan oleh remaja.
- Kehamilan di luar nikah remaja Indonesia karena diperkosa sebanyak 3,2%. Karena hubungan seks sama-sama mau 12,9%. Kehamilan tak terduga 45%. Seks bebas 22,6% (Ari Saputra,2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar